Kamis, 26 Maret 2009

Kimiya Kebahagiaan-3 MENGENAL ALLOH SWT

Kimiya Kebahagiaan-3 MENGENAL ALLOH SWT

MENGENAL ALLOH SWT

Satu Hadis Nabi Muhammad SAW. yang masyhur ialah;

“Siapa yang mengenal dirinya, mengenal ia akan TuhanNya”

Ini berarti dengan mematuhi dan memikirkan tentang dirinya dan sifat-sifatnya, manusia itu bisa sampai mengenal Alloh. Tetapi oleh karena banyak juga orang yang memikirkan tentang dirinya tetapi tidak dapat mengenal Tuhan, maka tentulah ada cara-caranya yang khusus bagi mengenal ini.

Sebenarnya ada dua cara untuk mencapai pengetahuan atau pengenalan ini. Salah satunya sangat sulit dan sukar difahami oleh orang-orang biasa, maka cara yang ini tidak usahlah kita terangkan di sini. Yang satu cara lagi adalah seperti berikut:

Apabila seseorang memikirkan dirinya, dia tahu bahwa ada suatu ketika ia tidak berwujud, seperti tersebut dalam Al-Quran:

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu sesuatu yang dapat disebut?” (Al Insan:1)

Selanjutnya ia juga tahu bahwa ia dijadikan diri setitik air yang tidak ada akal, pendengar, penglihatan, kepala, tangan, kaki dan sebagainya, dari sini teranglah bahwa walau bagaimanapun seseorang itu mencapai taraf kesempurnaan, tidaklah dapat ia membuat dirinya sendiri meeskipun hanya sehelai rambut.


Kemudian pula jika ia setitik air, alangkah lemahnya ia? Demikianlah seperti yang kita lihat di bab pertama dulu, didapatinya dalam dirinya kekuasaan, kebijaksanaan dan kecintaannya terhadap Alloh terbayang dalam bentuk yang kecil. Jika semua manusia dalam dunia ini berkumpul dan mereka tidak mati, niscaya mereka tidak dapat mengubah dan memperbaiki bentuk walau satu bagian dari tubuhnya itu.

Misalnya, dalam penggunaan gigi depan dan gigi samping untuk menghancurkan makanan, penggunaan lidah, air liur, tengkuk, kerongkong, kita dapatinya penciptaan itu tidak dapat diperbaiki lagi. Begitu juga, fikirkan pula tangan dan jari kita. Jari ada lima dan tidak pula sama panjang, empat daripada jari itu mempunyai tiga persendian, dan ibu jari hanya ada dua persendian, dan lihat pula bagaimana ia bisa digunakan untuk memegang, mencincang, memukul dan sebagainya. Jelas sekali manusia tidak akan dapat berbuat demikian, meski hendak menambah atau mengurangkan jumlah jari itu dan susunannya .

Lihat pula makanan, tempat tinggal kita dan sebagainya. Semuanya cukup dikurniakan oleh Alloh yang maha kaya. Tahulah kita bahwa rahmat atau Kasih Sayang Alloh itu sama dengan Kekuasaan dan Kebijaksanaan-Nya, seperti firman Alloh Subhanahuwa Taala.

“RahmatKu itu lebih besar dari kemurkaanKu”

Dan sabda Nabi SAW:

“Alloh itu sayang kepada hamba-hambanya lebih dari sayang ibu kepada anaknya”

Demikianlah, dari makhluk yang dijadikanNya, manusia bisa tahu tentang wujud Alloh, dari keajaiban tubuhnya, ia dapat tahu tentang Kekuasaan dan Kebijaksanaanya Alloh; dan dari kurnia rezeki Tuhan yang tidak terbatas itu, nampaklah Cinta Alloh kepada hambaNya.

Dengan cara ini, mengenal diri sendiri itu menjadi anak kunci kepada pintu untuk mengenal Alloh Subhanawa Taala.

Sifat-sifat manusia itu adalah bayangan Sifat-sifat Alloh. Begitu juga cara wujud ruh manusia itu memberi kita sedikit pandangan tentang wujud Alloh, yaitu Alloh dan ruh itu tidak kelihatan, tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan, tidak tunduk kepada ruang dan waktu, diluar kemampuan kuantitas (jumlah) dan kualitas, dan tidak bisa diperikan dengan bentuk, warna atau ukuran. Orang merasa sulit hendak membentuk satu konsep berkenaan hakikat-hakikat ini karena ia tidak termasuk dalam bidang kualitas dan kuantitas, dan sebagainya, tetapi coba perhatikan betapa susah dan payahnya memberi konsep tentang perasaan kita sehari-hari seperti marah, suka, cinta dan sebagainya.

Semua itu adalah konsep pikiran atau tanggapan khayalan, dan tidak dapat dikenali oleh indera. kualiti, kuantiti dan sebagainya dan itu adalah konsep indera (tanggapan pancaindera). Sebagaimana telinga kita tidak dapat megenal warna, dan mata kita tidak dapat mengenal bunyi, maka begitu jugalah mengenal Ruh dan Alloh itu bukanlah dengan inderanya.

Alloh itu adalah Pemerintah alam semesta raya ini. Dia tidak tunduk kepada ruang dan waktu, kuantiti dan kualiti, dan menguasai segala makhluknya. Begitu juga ruh itu memerintah tubuh dan anggotanya. Ia tidak bisa dilihat, tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan tidak tunduk kepada tempat tertentu.

Karena bagaimana mungkin sesuatu yang tidak bisa dibagi-bagikan itu diletakan ke dalam sesuatu yang bisa dibagi atau dipecah?

Dari keterangan yang kita baca diatas itu, dapatilah kita lihat bagaimana benarnya sabda Nabi SAW.:

Alloh jadikan manusia menurut rupanya”.

Setelah kita mengenal Zat dan Sifat Alloh hasil dari bertafakur kita tentang zat dan sifat Ruh, maka sampailah pengenalan kita kepada cara-cara kerja dan pemerintahan Alloh Taala dan bagaimana ia mewakilkan kuasa-kuasaNya kepada malaikat-malaikat, dan lain-lain.

Dengan cara bertafakur tentang bagaimana diri kita memerintah alam kecil kita sendiri.

Kita ambil satu contoh:

Katakanlah seorang manusia hendak menulis nama Alloh. Mula-mulanya kehendak atau keinginan itu terkandung dalam hatinya. Kemudian dibawa ke otak oleh daya ruhani. Maka bentuk perkataan “Alloh” itu terdapat dalam khayalan atau pikiran otak itu. Selepas itu ia mengembara melalui saluran urat saraf, lalu menggerakkan jari dan jari itu mengerakkan pena. Maka tertulislah nama “Alloh” atas kertas, serupa seperti yang ada didalam otak penulis itu.

Begitu juga apabila Alloh Subahanahuwa Taala hendak menjadikan sesuatu hal, Ia mula-mulanya nampak dalam peringkat keruhanian yang disebut didalam Quran sebagai “Al-’Arasy”. Dari situ ia turun dengan urusan Keruhanian ke peringkat yang di bawahnya yang digelar “Al-Kursi”. Kemudian bentuknya nampak dalam “Al-Luh Al-Mahfuz”. Dari situ dengan perantaraaan tenaga-tenaga “Malaikat” terbentuklah hal itu dan kelihatanlah di atas bumi ini dalam bentuk tumbuh-tumbuhan, pokok-pokok dan binatang, yang mewakilkan atau menggambarkan Iradat dan Ilmu Alloh.

Sebagaimana juga huruf-huruf yang tertulis, yang menggambarkan keinginan dan kemauan yang terbit dan terkandung dalam hati, dan bentuk itu dalam dalam otak penulis tadi.

Tidak ada orang yang tahu Hal Raja melainkan Raja itu sendiri. Alloh telah memberi kita Raja dalam bentuk yang kecil yang memerintah kerajaan yang kecil. Dan ini adalah satu salinan kecil Diri (Zat)Nya dan KerajaanNya. Dalam kerajaan kecil pada manusia itu, Arash itu ialah Ruhnya; ketua segala Malaikat itu ialah hatinya, Kursi itu otaknya, Luh Mahfuz itu ruang khazanah khayalan atau pikirannya. Ruh itu tidak bertempat dan tidak bisa dibagikan dan ia memerintah tubuhnya sebagaimana Alloh memerintah Alam Semester Raya ini. Pendeknya, tiap-tiap orang manusia itu diamanahkan dengan satu kerajaan kecil dan diperintahkan supaya jangan lengah dan lalai mengatur kerajaan itu.

Berkenaan dengan mengenal ciptaan Alloh Subhanahuwa Taala, ada banyak derajat pengetahuan. Ahli Ilmu Alam yang biasa adalah ibarat semut yang merangkak atas sekeping kertas dan memperhatikan huruf-huruf hitam terbentang di atas kertas itu dan merujukkan sebab kepada pena atau qalam itu saja.

Ahli Ilmu Falak adalah ibarat semut yang luas sedikit pandangannya dan nampak jari-jari tangan yang menggerakkan pena itu, yaitu ia tahu bahwa unsur-unsur itu adalah daya bintang-bintang, tetapi dia tidak tahu bahwa bintang itu adalah di bawah kuasa Malaikat.

Oleh karena berbeda-bedanya derajat pandangan manusia itu, maka tentulah timbul perbedaan hasil atau kesan. Mereka yang tidak memandang lebih jauh dari fenomena alam nyata ini adalah ibarat orang yang mengganggap hamba abdi yang paling rendah itu sebagai raja.

Walau bagaimanapun, adalah salah besar menganggap hamba itu tuannya.

Karena ada perbedaan ini, maka pertengkaran akan terus terjadi. Ini adalah ibarat orang buta yang hendak mengenal gajah. Seseorang memegang kaki gajah itu lalu dikatakannya gajah itu seperti tiang. Seorang lain memegang gadingnya lalu katanya gajah itu seperti kayu bulat yang keras. Seorang lagi memegang telinganya lalu katanya gajah itu macam kipas.

Tiap-tiap seorang mengganggap bagian-bagian itu sebagai keseluruhan. Dengan itu, ahli ilmu alam dan ahli ilmu Falak menyanggah hukum-hukum yang mereka dapat dari ahli-ahli hukum. Kesalahan dan sangkaan seperti itu terjadi juga kepada Nabi Ibrahim seperti yang tersebut dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim menghadap kepada bintang, bulan dan matahari untuk disembah. Lama kelamaan beliau sadar siapa yang menjadikan semua-benda-benda itu, lalu bisa berkata,

“Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”

Kita selalu mendengar orang merujuk kepada sebab yang kedua bukan kepada sebab yang pertama dalam hal apa yang digelar sakit. Misalnya; jika seseorang itu tidak lagi cenderung kepada keduniaan, segala keindahan tidak lagi dipedulikannya, dan tidak peduli apa pun, maka dokter mengatakan, “Ini adalah penyakit gundah gulana, dan ia perlu obat ini A”

Ahli fisika akan berkata “Ini adalah kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak dapat dilegakan kecuali udara menjadi lembab.”

Ahli nujum akan mengatakan bahwa itu adalah pengaruh bintang-bintang.

“Hanya itulah kebijaksanaanya mereka” Kata Al-Quran, tidaklah mereka tahu bahwa sebenarnya apa yang terjadi ialah: Alloh Subahana Wataala memberi kebajikan orang yang sakit itu dan dengan itu memerintahkan hamba-hambanya seperti bintang-bintang atau unsur-unsur, mengeluarkan keadaan seperti itu kepada orang itu agar ia berpaling dari dunia ini mengadap kepada Tuhan yang menjadikannya.

Pengetahuan tentang hakikat ini adalah sebuah mutiara yang amat bernilai dari lautan ilmu yang berupa Ilham; dan ilmu-ilmu yang lain itu jika dibandingkan dengan Ilmu Ilham ini adalah ibarat pulau-pulau dalam lautan Ilmu Ilham itu.

Dokter, Ahli Fisika dan Ahli Nujum itu memang betul dalam bidang ilmu mereka masing-masing. Tetapi mereka tidak tahu bahwa penyakit itu bisa dikatakan sebagai “Tali Cinta” , yang dengan tali itu Alloh menarik AuliaNya kepadaNya. Berkenaan ini Alloh ada berfirman yang bermaksud;

“Aku sakit tetapi engkau tidak melawat Aku”.

Sakit itu sendiri adalah satu bentuk pengalaman yang dengannya manusia itu bisa mencapai pengetahuan tentang Alloh sebagaimana firman Alloh melalui mulut Rasul-rasulNya,

“Sakit itu sendiri adalah hambaKu dan disertakan kepada orang-orang pilihanKu”.

Dengan ulasan-ulasan yang terdahulu, dapatlah kita meninjau lebih mendalam lagi maksud kata-kata yang selalu diucapkan oleh orang-orang yang beriman yaitu,

“Maha Suci Alloh” (SubhanAlloh)
“Puji-pujian Bagi Alloh (Alhamdulillah)
“Tiada Tuhan Melainkan Alloh (La ilaha illAlloh)
“Alloh Maha Besar” (Allohu Akbar).

Berkenaan dengan “Allohu Akbar” itu bukanlah bermaksud Alloh itu lebih besar (secara fisik) dari makhluk, karena makhluk itu adalah penampakan-Nya sebagaimana cahaya memperlihatkan matahari. Tidaklah bisa dikatakan matahari itu lebih besar daripada cahayanya. Ia bermaksud yaitu Kebesaran Alloh itu tidak dapat diukur dan melampaui jangkauan kesadaran, dan kita hanya bisa membentuk gambaran yang tidak sempurna dan tidak nyata berkenaanNya.

Jika seorang anak-anak bertanya kepada kita untuk menerangkan enaknya mendapat pangkat yang tinggi, kita hanya dapat mengatakan seperti perasaan anak-anak itu tatkala sedang bermain bola, meskipun pada hakikat kedua-dua itu tidak ada persamaan langsung, kecuali hanya kedua-dua hal itu termasuk dalam jenis kesenangan.

Oleh yang demikian, kata-kata “Allohu Akbar” itu berarti Kebesaran itu melampaui semua kuasa pengenalan dan pengetahuan kita. Tidak sempurna pengenalan kita berkenaan Alloh itu, bukan dengan pikiran saja tetapi adalah disertai oleh ibadat dan pengabadian kita.

Apabila seorang itu mati, maka ia berhubungan dengan Alloh saja. Jika kita hidup dengan orang lain, kebahagiaan kita bergantung kepada derajat kemesraan kita terhadap orang itu.

Cinta itu adalah benih kebahagiaan, dan Cinta kepada Alloh itu dituju dan dibangun melalui ibadat.

Ibadat dan sentiasa mengenang Alloh itu memerlukan kita supaya bersikap sederhana dan mengekang kehendak-kehendak tubuh. Ini bukanlah berarti semua kehendak tubuh itu dihapuskan; karena itu akan menyebabkan punahnya manusia. Apa yang diperlukan ialah membatasi kehendak-kehendak tubuh itu. Oleh karena seseorang itu bukanlah Hakim yang paling bijak untuk mengadili dirinya sendiri tentang batas itu, maka ia lebih baik merundingi pemimpin-pemimpin keruhanian dalam hal ini, dan hukum-hukum yang mereka bawa melalui Wahyu Ilahi menentukan batas yang harus diperhatikan dalam hal ini.

…., Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang lalim. (Al-Baqarah; 229).

Walaupun Al-Qur’an telah memberi keterangan yang nyata, masih ada juga orang yang melanggar batas karena kejahilan mereka tentang Alloh dan kejahilan ini adalah karena beberapa sebab,

Pertama, ada golongan manusia yang terus mencari Alloh melalui pikiran, lalu mereka membuat kesimpulan dengan mengatakan tidak ada Tuhan dan alam ini terjadi dengan sendirinya atau wujudnya tanpa permulaan. Mereka ini seperti orang yang melihat surat yang tertulis dengan indahnya, dan mereka mengatakan surat itu sedia tertulis tanpa penulis atau ada begitu saja.Orang yang seperti ini telah jauh tersesat dan tidak berguna berhujah dan bertengkar dengan mereka. Setengah daripada orang-orang seperti ini adalah Ahli Fizika dan Ahli Bintang yang telah kita sebutkan di atas tadi.

Kedua, orang karena kejahilan tentang keadaan sebenarnya Ruh itu. Mereka menyangkal adanya hidup di Akhirat dan menyangkal manusia itu diadili di sana . Mereka anggap diri mereka itu satu taraf dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan dan akan hancur begitu saja.

Ketiga, orang yang percaya dengan Alloh dan Hari Akhirat, tetapi kepercayaan atau Iman mereka itu sangat lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri,

Pikiran mereka ini seperti orang sakit yang disuruh makan obat, tetapi ia berkata,

“Apa untung atau ruginya dokter itu jika aku makan obat atau tidak makan obat?” .

Memang tidak terjadi apa-apa kepada dokter itu tetapi orang itulah yang akan bertambah sakit karena bodohnya. Tubuh yang sakit berakhir dengan mati. Maka Ruh atau Jiwa yang sakit berakhir dengan kesusahan dan siksaan di akhirat nanti, seperti firman Alloh Taala dalam Al-Qur’an yang bermaksud :

“Hanya Dan barang siapa kafir maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (Luqman-23)

Keempat, ialah mereka yang berkata;

“Hukum Syariat menyuruh kita jangan marah, jangan menurut nafsu, jangan bersikap munafik. Ini tidak mungkin karena sifat-sifat ini memang telah ada semula jadi pada kita. Lebih baik tuan suruh saya membuat yang hitam itu jadi putih”.

Mereka ini sebenarnya bodoh. Mereka jahil dengan hukum Syariat. Hukum Syariat tidak menyuruh manusia membuang sama sekali perasaan itu, tetapi hendaklah dikendalikan supaya tidak melanggar batas yang dibenarkan. Supaya terhindar dari dosa besar, dan kita bisa memohon keampunan terhadap dosa-dosa kita yang kecil. Sedangkan Rasulullah ada bersabda,

“Saya ini manusia juga seperti kamu, dan marah juga seperti orang lain”.

Firman Alloh dalam Al-Qur’an:

Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Al-Imran:146)

Ini berarti bukan mereka yang tidak ada perasaan marah.

Kelima, ialah mereka yang menekankan Kemurahan Tuhan saja tetapi menepikan KeadilanNya, lalu mereka berkata kepada diri mereka sendiri,

“Kami buat apa saja karena Alloh itu Maha Pemurah dan Maha Penyayang”.

Mereka tidak ingat meskipun Alloh itu Pengasih dan Penyayang, namun beribu-ribu manusia mati kelaparan dan karena penyakit. Meraka tahu, barang siapa hendak hidup atau hendak kaya, atau hendak belajar, mestilah jangan hanya berkata, “Alloh itu Kasih Sayang”. tetapi perlulah ia berusaha sungguh-sungguh. Meskipun ada firman Alloh dalam Al-Qur’an :

Dan tidak ada suatu mahluk pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam mahluk itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). (Hud:06)

tetapi hendaklah juga ingat Alloh juga berfirman :

Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha. (Furqon:47)

Sebenarnya mereka yang berpendapat di atas itu adalah dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka berkata di mulut saja, bukan di hati.

Keenam, pula menganggap mereka telah sampai ke taraf kesucian dan tidak berdosa lagi. Tetapi kalau anda layani mereka dengan kasar dan tidak hormat, anda akan dengar mereka marah dan bertahun-tahun mencela anda. Dan jika anda ambil makanan sesuap saja yang patut, seluruh alam ini kelihatan gelap dan sempit pada perasaan mereka. Kalau pun mereka itu telah dapat menakluki hawa nafsu mereka, mereka tidak berhak menganggap dan mengatakan diri mereka itu tidak berdosa lagi, karena Nabi Muhammad SAW. sendiri, manusia yang paling tinggi darajatnya, sentiasa mengaku salah dan memohon ampun kepada Alloh. Setengah daripada Rasul-rasul itu sangat takut berbuat dosa sehingga pada hal- hal yang halal pun mereka menghidarkan diri .
Diriwayatkan, suatu hari Nabi Muhammad SAW. telah diberi sebiji Tamar. Beliau enggan memakannya kerena beliau tidak pasti Tamar itu didapati secara halal atau tidak. Tetapi mereka menelan arak berbotol-botol banyaknya dan berkata mereka lebih mulia daripada Nabi. (Saya gemetar semasa menulis ini) . Pada hal sebutir Tamar pun tidak disentuh oleh Nabi jika belum pasti sama ada halal atau tidak. Sesungguhnya mereka telah diseret dan disesatkan oleh Iblis.

Aulia Alloh yang sebenarnya mengetahui bahwa orang yang tidak menundukkan hawa nafsunya tidak patut dipanggil “orang” dan orang Islam yang sebenarnya ialah mereka yang dengan rela hati, tidak mahu melanggar Syariat.

Mereka yang melanggar Syariat adalah sebenarnya dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka ini sepatutnya bukan dinasihati dengan pena, tetapi adalah sewajarnya dengan pedang.

Sufi-sufi yang palsu ini kadang-kadang berpura-pura tenggelam dalam lautan keheranan atau tidak sadar, tetapi jika anda tanya mereka apakah yang mereka heirankan itu, mereka tidak tahu. Sepatutnya mereka disuruh menungkan keheranan sebanyak-banyak yang mereka suka, tetapi di samping itu hendaklah ingat bahwa Alloh Subhanahuwa Taala itu adalah Pencipta mereka dan mereka itu adalah hamba Alloh saja.

Terjemahan Kitab Kimyatusy- Sya’adah - KIMIA KEBAHAGIAAN - Karya : Imam Al-Ghazali

kembali ke www.manakib.wordpress.com

Omar, The Criterion (part 1 of 3): “Strengthen Islam with Omar”


Description: How the second successor of the prophet Muhammad embraced Islam.
By Aisha Stacey (© 2008 IslamReligion.com)
Published on 12 Jan 2009 - Last modified on 02 Apr 2009
Viewed: 1095 (daily average: 13) - Rating: 4.5 out of 5 - Rated by: 8
Printed: 91 - Emailed: 4 - Commented on: 0

Category: Articles > The Prophet Muhammad > Stories of His Companions

When the enemies of Islam heard the name of Omar, their knees would tremble. When Satan saw Omar walking down the street, he would turn the other way. Even Omar’s friends would sometimes find his presence intimidating, and they too feared his anger. However, this man of strength and power, cried easily, and had a soft and compassionate heart. Omar was humble without being weak. Omar combined two opposing character traits and that made him unique amongst the men around Prophet Muhammad. Omar’s path to the truth began with a vehement hatred of Muhammad and the religion of Islam but that hatred soon turned into a fierce love. Omar ibn Al Khattab strengthened Islam,

Omar belonged to a middle class family, neither rich nor poor, of the Adi clan, part of the tribe of Quraish. He had a tough upbringing, his father was known to be a harsh man who worked his son to exhaustion and beat him when he considered it necessary. Despite this Omar is believed to have been literate, which was an uncommon skill in pre Islamic Arabia. Born approximately 11 years after Prophet Muhammad, Omar was a relatively fair-skinned boy who grew into a tall, well-built, muscular man known for his fierce demeanour and wrestling skills.

Omar began his working life as a shepherd for his father and aunts, and he was paid a very small stipend, often only a handful of dates for a full days work. He supplemented his income by engaging in wrestling competitions but as he grew into manhood, he became a successful trader and respected businessman. Omar was known as a man of strength. His posture and bearing denoted strength and his voice was loud and commanding. When Mohammad’s teachings became a problem for the men of Mecca, Omar pronounced his hatred for Islam openly and took part in the abuse and torture of many of the weaker converts to Islam.

The Two Omars

Although not known by his given name of Omar, there was another strong, determined man opposed to Islam. This was the man originally known as Abu Hakim, (the father of wisdom), but history remembers him as Abu Jahl, (the father of ignorance), the avowed enemy of Islam. Prophet Muhammad gave him the name Abu Jahl to denote his total ignorance in not recognising the truth of Islam. Traditional accounts reveal that Prophet Muhammad on one occasion raised his hands in supplication and begged God to strengthen Islam by whomever of the two Omar’s he loved most. To the enemies of Islam and to the companions of Prophet Muhammad Omar ibn al Khattab embracing Islam was an unthinkable notion.

Omar’s hatred of Islam was so strong that he volunteered to kill Prophet Muhammad. Without a second’s hesitation, he strode down the streets of Mecca intent on drawing his sword and ending the life of the prophet of God. One of the men of Mecca, who was secretly a Muslim saw the look on Omar’s face and immediately knew that his beloved Prophet was in danger. Without fear for himself, he approached Omar and asked him where he was going so quickly. Omar replied that he was going, “to the man who has disunited our people, cursed our gods and made fools of us”, and he said, “I am going to kill him”.

The young Muslim man named Nu’aim felt terror rush into his heart and tried to engage Omar in a discussion to divert him, but Omar was intent on his mission and continued to stride along the street. Nu’aim reluctantly spoke the words that lead Omar to Islam. He said, “why don’t you take care of your own house first’. Omar stopped short and asked him what he meant by those words. Omar’s beloved sister and her husband had secretly embraced Islam and Nu’aim revealed their secret in order to save the life of Prophet Muhammad.

Omar turned around immediately and walked with determination towards his sister’s house. As he approached, he could hear the sound of Quran being recited. Omar knocked on the door. Inside the inhabitants scrambled to hide, their copies of Quran but Omar entered and demanded to know what the “humming” sound he had heard was. Omar’s sister replied that it was nothing, just the sound of them talking, but Omar knew the sound of Quran and asked menacingly, “Have you become Muslim?” Omar’s brother in law answered in the affirmative, whereupon Omar fell upon him, wrestling him to the ground. Omar’s sister tried to defend her husband and in the scuffle, Omar hit her face, drawing blood.

Quran Enters His Heart

Omar’s sister seemed to have the strength her brother was so famous for, she stood up and faced her angry brother saying, “You enemy of God! You would hit me just because I believe in God. Whether you like it or not, I testify that there is no god but God and that Muhammad is his slave and messenger. Do whatever you will!” Omar saw the blood running down his sister’s face, her words echoed in his ears, and he stood up. Omar demanded that the words of Quran he had heard as he approached the house be recited for him.

“We have not sent down the Quran unto you (O Muhammad) to cause you distress, But only as a Reminder to those who fear (God).A revelation from Him Who has created the earth and high heavens. The Most Beneficent rose over the (Mighty) Throne (in a manner that suits His Majesty).To Him belongs all that is in the heavens and all that is on the earth, and all that is between them, and all that is under the soil. And if you (O Muhammad) speak aloud, then verily, He knows the secret and that which is yet more hidden. None has the right to be worshipped but He! To Him belong the Best Names.” (Quran 20:2-8)

Omar’s eyes filled with hot tears. “Is this what we were against”, he asked. “The One who has spoken these words needs to be worshipped.” Omar left his sisters house and rushed to Muhammad. Those with Prophet Muhammad were afraid, but they admitted Omar and restrained him until he was in Muhammad’s presence. Although Prophet Muhammad has smaller then Omar he grabbed him and said, “Why did you come here, son of Khattab?”

Omar faced Prophet Muhammad with humility and joy and said, “O Messenger of God, I have come for no reason except to say I believe in God and his Messenger. Prophet Muhammad was overcome with joy and cried out that God was Great! Within days, Omar lead a procession of Muslims to the house of God where they prayed openly. It was on this occasion that Prophet Muhammad gave him the nickname Al Farooq – the criterion[1]. It denotes one who is able to distinguish truth from falsehood. Islam was strengthened with Omar, his fierce hatred melted into a love that knew no bounds. His life and his death were now for the sake of God and his Messenger.



Footnotes:

[1] Taken from the historical works of At Tabari, & The Life and times of Omar Ibn Al Khattab by Sheikh Ali Muhammad Salladi.

Omar, The Criterion (part 2 of 3): A Man as a Nation


Description: Omar’s love for his brothers and sisters in Islam
By Aisha Stacey (© 2008 IslamReligion.com)
Published on 19 Jan 2009 - Last modified on 01 Feb 2009
Viewed: 788 (daily average: 11) - Rating: 4 out of 5 - Rated by: 4
Printed: 74 - Emailed: 1 - Commented on: 0

Category: Articles > The Prophet Muhammad > Stories of His Companions

Omar ibn Al Khattab was a strong and assertive man, his heart filled with burning hatred for Islam. The supplications of Prophet Muhammad, may the mercy and blessings of God be upon him, and the sublime beauty of Quran changed his mind, changed his heart, and changed his life. When Omar accepted Islam he became a man devoted to the Ummah of Muhammad, as a Muslim, he was pleased when the Ummah was pleased and displeased when the Ummah was displeased.

Ummah is an Arabic word, roughly translated to mean nation, but as with many Arabic words, it does not translate well into English. The root of the Arabic word Ummah is amma, which means to go or to go see. The word imama means to lead the way, for example, the one who leads the prayer is the Imam. Also derived from this root is the word umm meaning mother, source, or origin.

In English speaking and western countries, the word nation usually defines the nation state, whose members live between a set of predefined borders often set by religious, racial or ethnic differences. This is not the definition of Ummah. Ummah means the community of believers bound together with a purpose - to worship God. Together they are strong, divided they are weak. Each member is united with all of the others in a spiritual way that can even have physical manifestations. When one part of the Ummah is in pain, the whole Ummah hurts.[1]

“And verily this Ummah of yours is One Ummah and I am your Lord and Cherisher: therefore fear Me (and no other).” (Quran 23:52)

To illustrate this we can look at images you may have seen on TV, Muslims decrying the abuse and mistreatment of their brothers in far off countries. In the Ummah of Muhammad when one member is hurting , the pain in the hearts of the other members is real. Muslims stand up for what is morally correct, inhumanity has no part in the religion of Islam. Omar ibn Al Khattab recognised this unique quality at once and declared himself a man of the Ummah.

When Omar ibn al Khattab accepted Islam he wanted to be part of his community and wanted proclaim his membership of this unique nation. Omar wanted to join the Ummah in their happiness and in their pain. At the time of his conversion, the weaker members of the Ummah suffered systematic abuse and oppression, often by Omar himself, but his heart now felt their pain and he wanted to experience it. Omar did not want his Islam to go unnoticed; he immediately informed the enemies of Islam that he was Muslim.

At first, the men of Mecca who had not embraced Islam were shocked and did not react to Omar’s conversion, but as word spread, they came together at the House of God and attacked Omar mercilessly. Eventually Omar, the strong, muscular wrestler could fight no more and he sat in the midst of his attackers as they pummelled him. Omar recovered from his beating and because of him, Islam became strong. In the tradition of the Prophets of God Omar’s heart was filled with love for his brothers and sisters in Islam. Prophet Muhammad was heard to say that if there had been a Prophet after him it would have been Omar ibn al Khattab.

More than Strength

Abu Bakr As Siddiq, and Omar were the two companions closest to Prophet Muhammad. Ali Ibn Abu Talib is reported to have said that Prophet Muhammad went out in the morning with Abu Bakr and Omar and he would return at night with Abu Bakr and Omar. The Prophet himself called Abu Bakr and Omar his eyes and ears, and said they were his advisors from the inhabitants of earth.[2] Omar stood beside Prophet Muhammad in all of the trials and tribulations that faced the Muslim Ummah.

When the Muslims of Mecca migrated to the city of Medina, all left in a well planned, secret migration, but not Omar. He was the only Muslim to make the migration openly, in fact, he proclaimed that he was leaving and invited any man who thought he was strong enough, to challenge him. Omar flung his sword around his neck and strode through the streets of Mecca with his head held high and his heart, which was no longer filled with hate, burning with a fierce love for God, His Prophet Muhammad and his fellow believers. As Prophet Muhammad created his Ummah, Omar stood by his side.

Although remembered for his strength, Omar was also known to be a pious and generous man. He would spend the nights in worship, often waking his family in the last part of the night to join him in his devotions. He was a staunch believer, confident in God’s promise of Paradise, and easily and readily spent his wealth for the sake of God and the benefit of the believers. One of Prophet Muhammad’s companions narrates[3] that Omar once distributed 22,000 dirhams to the needy and had a habit of giving away bags of sugar. When Omar was asked why he distributed the sugar he said, “Because I love it and God said in the Quran,

“By no means shall you attain piety, unless you spend (in God’s Cause) of that which you love; and whatever of good you spend, God knows it well.” (Quran 3:92)

Omar was one of ten men to whom Prophet Muhammad gave the joyous news that they would be admitted to Paradise.[4] However, this did not stop him from working tirelessly, all of his life to please God. He was a man of knowledge, a man known for his generosity and tireless devotion to the worship of God and perhaps above all he was devoted to the Ummah of Muhammad. Prophet Muhammad counselled us all when he said, “A man is not a true believer until he loves for his brother what he loves for himself”[5]. Omar wanted Paradise but he also wanted it for every man, woman or child who has ever believed that there is no god but God and Muhammad is His messenger. This is Omar, he is the one who can distinguish truth from falsehood; he was a man of the Ummah.



Footnotes:

[1] Saheeh Al-Bukhari, Saheeh Muslim.

[2] At Tirmidhi.

[3] From The stories of the Rightly guided Caliphs by Imam Ibn Kathir

[4] At Tirmidhi

[5] Saheeh Al-Bukhari, Saheeh Muslim, & others.

Omar, The Criterion (part 3 of 3): The Commander of the Faithful


Description: Omar was a model of justice, generosity, and piety.
By Aisha Stacey (© 2009 IslamReligion.com)
Published on 26 Jan 2009 - Last modified on 29 Jan 2009
Viewed: 782 (daily average: 12) - Rating: 3.7 out of 5 - Rated by: 3
Printed: 74 - Emailed: 4 - Commented on: 0

Category: Articles > The Prophet Muhammad > Stories of His Companions

Omar Ibn Al Khattab was the second Caliph of the Muslim Ummah (Nation), and the first Muslim leader to be called the Commander of the Faithful. After Prophet Muhammad’s death, his closest friend Abu Bakr became his successor and led the Muslims for around two years. When Abu Bakr felt his own death approaching, he gathered his closest friends and advisors around him and informed them that their allegiance to him was over. Abu Bakr hoped that these men would choose his successor from among themselves. However, after much discussion Abu Bakr’s companions returned to him and asked him to choose for them for they trusted his choice beyond question. Abu Bakr chose Omar.

Some of the men around Abu Bakr voiced their concern that Omar, known to be a very harsh and tough man would be too hard on the people. Abu Bakr responded by saying that he considered Omar to be the best among them and explaining that Omar was tough because he, Abu Bakr, was a soft and gentle man. Despite these initial reservations among some men of Medina, Omar was appointed the second Caliph of the Muslims. He began his reign by addressing the people and immediately explaining his expectations for himself. Omar knew the people were wary of his reputation for toughness and he addressed this issue.

He took up his position on the rostrum and said, “Oh people, know that I have been appointed to govern your affairs, so recognise that my roughness is now weakened, but I will continue to be rough and harsh on the people of oppression and transgression and will put their cheeks into the dirt[1]. Know also that I will put my own cheek into the dirt to defend the people of piety.”

Omar went on to explain to the people that he would take nothing from what their land produced or from the spoils of war except what God ordained and that he would only spend that money in a way that was pleasing to God. Omar was acutely aware of the importance of financial justice, and that he would be held accountable for every penny or dirham that belonged to the Muslim Ummah. Omar also informed the people that he would increase their salaries and provisions and guard their borders.

The fledgling Muslim nation that Prophet Muhammad and his companions had worked so hard to establish was an Ummah unlike no other. Benefits were paid to every member of the Ummah from the Muslim treasury; it was not necessary to be a government employee, the wealth of the ever-expanding nation was shared equally. Omar did not institute this, he was merely following the already established way of his predecessors, but he did promise to increase the payments.

Omar also promised not to send the Muslim armies “into destruction”, meaning that he would not send the armies out unless the risks were evaluated and deemed acceptable. He promised not to keep the soldiers away from their families for an extended period and reassured the men that while they were away fighting for the Muslim Ummah, and if they did not return, he, the Caliph would be the father of their children and the caretaker of their wives. Omar believed the role of the leader was to protect the people.

This concept seems very unusual now days when we see Presidents and Prime Ministers surrounded by bodyguards and willing to trample over anyone to protect themselves and their power. Omar Ibn al Khattab, although he was the leader of an Empire, never felt it necessary to have a bodyguard. He walked the streets of Medina like any ordinary citizen, even at night. In fact, it was during the nights that he roamed the streets checking up on those under his protection and anonymously distributing charity.

One of the years of Omar’s reign came to be known as the Year of Ashes. This year was a great test for the Muslim Ummah. It was a time of drought and famine, when the wind was so hot it burnt the skin as if with hot ashes. Meat, butter, and milk became unavailable, and the people existed on little more then dry bread sometimes dipped in oil. Omar took an oath that he would not eat or drink anything that was not available to the people. Even when foodstuffs became available in the markets again, Omar refused to buy them for inflated prices. He was heard to say, “How can I be concerned about and understand my own subjects if I am not going through the same trials that they go through?”

More then fourteen hundred years after his reign Omar, is still remembered as a man of justice. Drawing on the principles of justice, mercy and compassion inherent in Islam, Omar treated all those under his care equally, be they rich or poor, black or white, powerful or weak. He constantly feared that God would question him about his actions and found he worried that there may be sick or poor people among the believers that he had not cared for correctly. Omar ibn Al Khattab never appointed judges or governors who expressed a desire for such a job but chose wisely from the most pious members of the Ummah.

Omar considered himself an ordinary Muslim but history has recorded that he was anything but ordinary. Omar was strong, physically and spiritually, he was generous, noble and lived a life of humility. Omar followed in the footsteps of his beloved Prophet Muhammad, he followed his example and upheld his traditions. Omar’s whole being was focused on pleasing God; he feared God’s punishment but hoped for Paradise. Omar was able to distinguish between the truth and falsehood, he felt pain when the Ummah or any member of it was hurting, and he felt joy when those under his care were content and happy worshipping their Lord. Omar was one of four rightly guided Caliphs. Even today, he continues to be a role model for strength, justice, love, and mercy.



Footnotes:

[1] This was an expression used by the Arabs of that time, to denote a harsh response, one that leaves no doubt that oppression of others and the transgression of their rights will not be tolerated.